Liputan6.com, Jakarta – Orang dengan autisme umumnya memiliki kepekaan sensorik yang lebih tinggi dibandingkan orang non-autistik. Hal ini berarti mereka merasakan sensasi seperti cahaya, suara, bau, tekstur, dan input lainnya dengan lebih kuat.
Pada masa perkembangan awal, otak manusia memiliki lebih dari 100 miliar neuron. Otak orang neurotipikal kemudian berkembang dengan memangkas jumlah neuron menjadi sekitar 85 miliar.
Namun, pada individu autistik, pemangkasan ini tidak terjadi secara optimal, sehingga mereka memiliki 67% lebih banyak neuron dibandingkan orang non-autistik. Dunia yang dirancang untuk standar dan kebutuhan neurotipikal sering kali menjadi berlebihan bagi mereka.
Ketika input sensorik ini menjadi terlalu banyak dan mereka tidak bisa lagi menanganinya, maka orang autistik dapat mengalami meltdown. Meltdown bukan lah “amukan” atau tantrum. Mereka tidak dapat mengendalikan perilakunya saat meltdown terjadi.
Dilansir dari Verywellmind.com, gejala meltdown dapat berbeda-beda pada setiap orang, namun umumnya melibatkan agresi verbal atau fisik, berteriak, dan menangis. Saat meltdown terjadi, orang autistik kehilangan kendali atas tubuh dan respons mereka.
Ashley Cairns, seorang konselor autistik, mendefinisikan meltdown sebagai “periode kelebihan beban fisik, emosional, dan sensorik yang intens yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk mengatasinya.”
Meltdown dapat menjadi berbahaya karena bisa memunculkan tindakan yang menyakiti diri sendiri ataupun orang lain. Kurangnya pemahaman terhadap meltdown juga dapat mengakibatkan intervensi yang tidak tepat dan justru dapat memperburuk situasi dan membahayakan keselamatan individu autistik.