Program Manager Yayasan Gemilang Sehat Indonesia (YGSI), Desrina, mencontohkan hambatan penanganan kasus kekerasan berbasis gender seperti kekerasan seksual dan praktik perkawinan anak.
Menurut Desrina, pekerjaan rumah terbesar dari implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) adalah kapasitas aparat penegak hukum dalam merespons pelaporan kekerasan berbasis gender.
“Perlu penguatan kapasitas aparat penegak hukum melalui pendidikan dan pelatihan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual sebagaimana diatur Pasal 81 UU TPKS,” ujar dia.
Peserta diskusi lainnya, Marsha, peneliti Indonesia Judicial Research Society (IJRS), menambahkan perlunya petunjuk teknis penanganan kekerasan berbasis gender dan komitmen anggaran, termasuk dana bantuan korban kekerasan.
“Ada kebutuhan pelatihan lanjutan tentang implementasi UU TPKS baik bagi Kepolisian, Kejaksaan, maupun Mahkamah Agung untuk menghindari ketidakpastian penerapan hukum dan menjunjung penanganan dan pemulihanbagi korban,” kata Marsha.
“Selain itu, pelatihan kebijakan internal seputar pendekatan ramah perempuan, anak dan penyandang disabilitas dalam peradilan pidana masing-masing institusi perlu diberikan secara berkelanjutan,” tambahnya.
Menurut Marsha, permasalahan serupa terjadi dalam penanganan permohonan dispensasi kawin. Banyak terjadi putusan hakim yang mengedepankan norma patriarkis dan belum sepenuhnya memerhatikan asas kepentingan terbaik bagi anak.
Misalnya, indeksasi putusan menemukan ada hakim yang memberikan dispensasi kawin kepada sepasang remaja berdasarkan alasan untuk menghindari zina karena mereka telah menjalin hubungan pacaran. Padahal, keduanya di bawah umur dan masih sekolah.
Bahkan pada kasus yang cukup ekstrem, korban kasus kekerasan berbasis gender justru mendapatkan tekanan untuk dinikahkan dengan pelaku. Ironisnya, tekanan kerap datang dari keluarga korban maupun pelaku yang memutuskan sepihak untuk menghindari aib.