Liputan6.com, Jakarta Bahasa Isyarat merupakan alat komunikasi bagi teman Tuli. Melalui gerakan tangan, ekspresi wajah, dan gerakan tubuh, Bahasa Isyarat membantu dalam berkomunikasi dan mengekspresikan pikiran serta perasaan.
Namun, tantangan yang masih dihadapi teman-teman Tuli saat ini salah satunya yaitu tidak terpenuhinya hak Bahasa Isyarat, sehingga mereka jadi terbatas untuk berkomunikasi/berekspresi, mengakses informasi, layanan, hingga keadilan.
Co-Founder dan Direktur Eksekutif FeminisThemis, Nissi Taruli Felicia mengatakan bahwa tidak terpenuhinya hak Bahasa Isyarat bagi Disabilitas Tuli ini mengakibatkan mereka memiliki keterbatasan pengetahuan dan akses informasi.
“Hak Bahasa Isyarat bagi Disabilitas Tuli yang tidak terpenuhi ini mengakibatkan pengetahuan dan akses informasi menjadi terbatas, terutama yang bersifat pribadi seperti mengenai hak tubuh, hak kesehatan seksual, dan reproduksi,” kata Nissi dalam diskusi oleh FeminiThemis dengan tema “Pancasila dan Keadilan Sosial Bagi Perempuan Tuli” pada Rabu, 29 Mei 2024, di Jakarta.
Nissi memberikan contoh tidak terpenuhinya hak Bahasa Isyarat pada layanan kesehatan seperti akses layanan kesehatan di rumah sakit itu tidak semua dokter menggunakan Bahasa Isyarat.
“Jadi, teman tuli dituntut untuk membawa juru bahasa isyarat sendiri agar bisa mendapatkan pelayanan kesehatan, yang mana akan mengeluarkan biaya tambahan. Tidak hanya pada layanan kesehatan, tetapi juga di setiap aspek kehidupan,” jelas Nissi.
Maka dari itu, Nissi berharap Bahasa Isyarat Indonesia bisa dijadikan bahasa resmi dan perlu dipelajari oleh semua orang agar bisa menghubungkan komunikasi dan mendukung hak-hak serta kesejahteraan teman Tuli.