Liputan6.com, Surabaya – Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi lebih memilih membangun Autonomus Rapid Transit (ART) untuk Kota Surabaya, daripada Mass Rapid Transit (MRT) atau Light Rail Transit (LRT). Menurutnya, ART lebih rasional karena sesuai dengan ketersediaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
“Ada ART pakai magnet, ternyata itu harganya Rp500-600 miliar per 7 kilometer, kami (pemerintah kota) langsung mengacungkan tangan saat acara APEKSI,” kata Eri, Sabtu (8/5/2024).
Eri menyatakan, jika harus membangun MRT atau LRT, APBD Kota Surabaya tidak akan cukup. Pembangunan MRT membutuhkan anggaran sekitar Rp2,3 triliun per satu kilometer.
Anggaran tersebut jika dihitung menggunakan APBD Kota Surabaya, maka pembangunan jalur transportasinya hanya sanggup terselesaikan 5 kilometer.
“Habis anggarannya, terus untuk pengentasan kemiskinan bagaimana? Banyak orang bertanya kok tidak membangun, karena tidak mungkin,” ujarnya.
Kemudian untuk LRT, setelah dihitung pembangunan membutuhkan anggaran sekitar Rp800 miliar per kilometer. Angka tersebut juga masih membebani APBD Kota Surabaya.
Jika harus dibandingkan dengan Jakarta, kata Eri, hal itu tidak relevan. Sebab, sekalipun Surabaya merupakan kota metropolitan, namun besaran anggaran yang ada berbeda.
“Jakarta APBD besar, Surabaya APBD-nya cuma Rp10,9 triliun,” ucapnya.
Lantaran alokasi anggaran pembangunan lebih relevan, maka Pemkot Surabaya mencoba merealisasikan pembangunan ART yang berpenggerak magnet itu.
“Belum ada yang punya, ini diterapkan di IKN, insya Allah Surabaya kedua,” tuturnya.
Eri pun menyatakan sudah berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan guna membahas proses penyusunan konsep ART.
“Kami lakukan FS (studi kelayakan) di Surabaya, semoga di 2025 atau 2026 sudah jalan,” kata Eri.
Wali kota Surabaya, Eri Cahyadi, ngamuk saat melakukan sidak ke RSUD Dr. Soewandhie dan RSU Bhakti Darma Husada.
Ia mengamuk lantaran menemukan pelayanan kesehatan tidak maksimal di kedua RS tersebut. Eri pun meminta seluruh pelayanan di fasilitas…