Ekonom dari Indonesia Strategic and Economic Action Instituion (ISEAI) Ronny P Sasmita mengatakan model pungutan iuran Tapera bisa berhasil di Singapura. Hal itu bisa memperbaiki tingkat kepemilikan rumah para pekerja.
“Jika kita berkaca ke CPF (Central Provident Fund) Singapura, memang iuran yang bersifat ‘mandatory’ untuk perumahan sangat mendorong peningkatan kepemilikan rumah,” kata Ronny kepada Liputan6.com, Senin (3/6/2024).
Bahkan, kata dia, Singapura menjadi salah satu negara dengan tingkat kepemilikan rumah tertinggi di dunia. Ini hasil dari bauran berbagai kebijakan perumahan, baik kementerian ketenagakerjaan, Housing and Development Board, dan lembaga pengelola CPF.
Meski begitu, konsep serupa belum berarti bisa berhasil dilaksanakan di Indonesia. Mengingat adanya perbandingan fundamental dari pendapatan pekerja di Indonesia dan Singapura.
“Namun masalahnya, backlog perumahan kita terjadi karena rendahnya permintaan yang diakibatkan oleh standar pendapatan pekerja kita yang tergolong sangat rendah. Berbeda dengan Singapura yang gaji pekerja termasuk yang tertinggi di dunia. Jadi tak apple to apple,” tegasnya.
Menurutnya, tingkat pendapatan yang tergolong rendah tersebut dan banyaknya potongan dan iuran justru memperburuk daya beli kelas pekerja dan kelas menengah ke bawah. Alhasil, konsumsi rumah tangga akan menurun kedepannya.
Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda mengungkapkan bahwa kebijakan Tapera berdasarkan hasil simulasi ekonomi dapat menyebabkan penurunan PDB sebesar Rp 1,21 triliun. Hal dikhawatirkan menimbulkan risiko dampak negatif pada keseluruhan output ekonomi nasional.
“Perhitungan menggunakan model Input-Output juga menunjukkan surplus keuntungan dunia usaha turut mengalami penurunan sebesar Rp 1,03 triliun dan pendapatan pekerja turut terdampak, dengan kontraksi sebesar Rp 200 miliar, yang berarti daya beli masyarakat juga berkurang dan menurunkan permintaan berbagai jenis sektor usaha,” ungkap Huda.
Adapun Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira mengatakan bahwa efek paling signifikan terlihat pada pengurangan tenaga kerja, di mana kebijakan ini berisiko menyebabkan hilangnya 466,83 ribu pekerjaan, dengan begitu jumlah pengangguran semakin banyak.
“Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan iuran wajib Tapera berdampak negatif pada lapangan kerja, karena terjadi pengurangan konsumsi dan investasi oleh perusahaan. Meskipun ada sedikit peningkatan dalam penerimaan negara bersih sebesar Rp 20 miliar, jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan kerugian ekonomi yang terjadi di sektor-sektor lain,” jelas Bhima.